Translate

Menyejahterakan Guru



Kemajuan suatu negara tak lepas dari dunia pendidikan. Pemerintah di negara-negara maju senantiasa memprioritaskan pembangunan dunia pendidikan. Tak heran bila kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya pun mumpuni. Untuk memajukan dunia pendidikan, faktor pendidik memegang peran utama. Di sinilah peran guru dan dosen menjadi sangat penting. 
Sayangnya, upaya Indonesia melangkah menjadi negara maju seakan meninggalkan para pendidik, khususnya guru sekolah dasar serta sekolah menengah pertama dan atas. Padahal, peran mereka sangat vital untuk membentuk karakter dan pola pikir SDM Indonesia. Hal itu tercermin dari minimnya perhatian pemerintah terhadap nasib guru.
Kita mengakui, seiring peningkatan anggaran pendidikan, anggaran untuk guru pun berangsur meningkat. Tetapi peningkatannya tak signifikan bila dibanding dengan manfaat yang dirasakan birokrat pendidikan yang mengurus nasib guru. Dalam beberapa kasus, birokrat justru menyunat tunjangan guru dengan berbagai alasan. Belum lagi, persoalan administratif yang membuat proses sertifikasi tenaga pendidik seolah berjalan di tempat, sehingga tak serta merta mampu mendongkrak penghasilan guru.

Data yang diperoleh dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menunjukkan program sertifikasi guru yang telah dijalankan selama lima tahun sejak 2007 baru meluluskan 747.727 dari 1.101.552 guru yang mengikuti sertifikasi. Padahal, jumlah guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan non-PNS pada 2009 mencapai 2.607.311, belum termasuk 922.308 guru honorer dan 13.908 guru bantu. Artinya sekitar 1,85 juta guru belum disertifikasi, sehingga berbagai tunjangan yang dijanjikan pun belum bisa dinikmati. Kalau sampai saat ini kecepatan proses sertifikasi hanya 750.000 guru dalam waktu lima tahun atau rata-rata 150.000 per tahun, berarti dibutuhkan waktu 12 tahun agar semua guru bisa disertifikasi, belum termasuk guru honorer dan guru bantu.

Hal tersebut sejalan dengan laporan yang diterima dari berbagai daerah tentang kehidupan keluarga guru yang belum sejahtera, meski pemerintah terus berupaya memperbaikinya. Guru-guru berstatus PNS bisa sedikit berlega hati karena mendapat penghasilan minimal Rp 2 juta sebulan, seperti yang pernah dijanjikan Menteri Keuangan Agus Martorwardojo beberapa waktu lalu. Tetapi, bagaimana dengan gaji guru non-PNS, guru honorer, dan guru bantu? Fakta di lapangan menunjukkan sebagian besar guru non-PNS masih hidup memprihatinkan. Masih banyak di antara mereka berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta sebulan, bahkan ada yang hanya Rp 150.000. Upah sebesar itu tentu tak sebanding dengan mulianya pekerjaan guru yang mendidik anak-anak bangsa. Apalagi, upah sebesar itu tak berbeda jauh, bahkan lebih rendah dari upah minimum provinsi (UMP) yang diterima para buruh! 

Dengan penghasilan sekecil itu kita sulit berharap para guru bisa menunaikan tugasnya dengan baik. Untuk menutupi kebutuhan hidup keluarga, sebagian guru terpaksa menjalani beberapa pekerjaan sekaligus. Ada guru yang mengajar di beberapa sekolah sekaligus, sehingga hampir bisa dipastikan terjadi proses pemutaran ulang “kaset” yang jauh dari proses belajar-mengajar ideal. Ada juga yang menjadi pengojek, bahkan pemulung. Sungguh memprihatinkan kehidupan sebagian guru di negeri ini. 

Bertolak dari hal itu, kita mendesak pemerintah lebih serius meningkatkan kesejahteraan guru. Setidaknya, seorang guru dengan pangkat terendah, baik berstatus PNS maupun non-PNS, berpenghasilan minimal Rp 3 juta per bulan. Khusus guru-guru non-PNS, pemerintah wajib menegur, bahkan memberi sanksi kepada yayasan pendidikan mapan yang masih memberi upah di bawah Rp 3 juta. Sedangkan untuk yayasan pendidikan yang kurang mapan, pemerintah wajib memberi subsidi. 

Sejalan dengan itu, kita juga mendorong pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan nasib guru. Beberapa provinsi dan kabupaten/kota telah menyisihkan sebagian APBD untuk menambah tunjangan guru. Bahkan, tak tertutup kemungkinan pihak swasta yang berusaha di luar dunia pendidikan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk memberi apresiasi kepada guru. Langkah tersebut diharapkan membuat profesi guru menjadi lebih bermartabat.

Kita sepakat dengan sambutan tertulis Mendiknas Mohammad Nuh pada peringatan Hari Guru Nasional sekaligus HUT ke-66 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang antara lain menyebutkan tugas guru sangat mulia karena menyiapkan generasi penerus demi masa depannya yang lebih baik, lebih berbudaya, dan sekaligus membangun peradaban. Ya, kita wajib memuliakan guru, dimulai dengan memperbaiki kesejahteraannya agar mereka bisa lebih tenang bekerja mendidik anak-anak bangsa. Belakangan, animo lulusan sekolah menengah atas dan sekolah sederajat melanjutkan pendidikan ke fakultas keguruan terus meningkat. Jangan sampai kecenderungan yang baik ini terpangkas, karena pemerintah ternyata hanya pandai melempar janji manis meningkatkan kesejahteraan guru, tetapi minim realisasi!